Lama aku memperhatikannya, penjual minuman di kereta. Lama... lama...
Kukumpulkan suara, berani bertanya.
"Apa?"
"Apa!"Penjual itu bertanya pula. Harus bertanya apa saya, batinku berkata.
“Lima ribu, tiga”, bapak tua itu berkata.
“Tidak Pak. Bukan.”
“Kemudian?!”
Apa? Hanya rasa penasaran yang tertanam. Mau bertanya, tanya apa?
“Berapa lama berjualan di kereta?”
“Lama. Sangat lama. Setengah hidup saya bersama kereta.”
“Cukupkah? Seimbang dengan dana keluar?”
“Kamu bertanya?! Tentulah tak tutup biaya nafas di dunia. Tapi kerja apa jaman sekarang? Receh saja belum tentu dipegang!”
“Maaf. Tak maksud tak sopan. Tak maksud mengiris jiwa.”
“Tidak apa. Biasa saja. Memang begitu nasibnya.”
Hampa, hening sejenak. Ia mulai melangkah. Tak mau aku hanya sedikit dapat jawaban. Aku ikuti perginya. Ia layani dua orang bocah kehausan. Tertarik wajah si bocah, terhias senyuman. Terima uang, lalu melenggang. Kusapa lagi ia.
“Bapak, berapa usia?”
“Lebih dari setengah abad. Tua!”
“Isrtri? Anak? Punya?”
“Menunggu di rumah. Tahan lapar, tunggu uang.”
“Hmmm...”, hanya hela nafas yang bisa kukata.
Pak Tua Penjual Minuman itu menerawang dan berkata,
“Hidup tidaklah mudah. Hidup benarlah susah”, entah pada dirinya, entah pada saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar